Selasa, 14 Oktober 2014

ARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM PERSPEKTIF PERTANIAN DI LAHAN RAWA


ARIFAN BUDAYA LOKAL DALAM PERSPEKTIF PERTANIAN DI LAHAN RAWA



      Pertanian di lahan rawa berkembang seiring dengan keberhasilan para petani pioner yang menggeluti lahan rawa ratusan tahun silam. Keberhasilan para pioner ini memberikan inspirasi bagi pemerintah kemudian untuk membuka lahan rawa secara besar-besaran di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi seiring dengan krisis pangan yang menimpa Indonesia setelah Perang Dunia II (Notohadiprawiro, 1996).
      
      Pengembangan daerah rawa di Kalimantan dimulai sejak abad 13 Masehi saat Kerajaan Majapahit memperluas pengaruhnya. Raja Prabu Jaya sebagai keturunan Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit dicatat telah mengadakan pembukaan lahan rawa untuk pemukiman dan pertanian di Sungai Pawan, Kalimantan Barat.  Pengembangan rawa di Kalimantan Selatan di mulai pada tahun 1920, yaitu seiring dengan pembangunan jalan besar melintasi rawa gambut sepanjang 14 km yang bersambungan dengan tanah pasir (sekarang termasuk dalam Kec. Kertak Hanyar dan Kec. Gambut, Kabupaten Banjar). Dikedua sisi jalan tersebut terbentuk saluran air (sungai), sehingga air di lahan rawa tersebut dapat tersalurkan ke sungai besar. Dengan terbukanya jalan tersebut, orang mencoba bersawah dan ternyata memberikan hasil yang baik.  Pada tahun 1927 lahan di kedua sisi jalan tersebut sudah habis terbuka. Petani yang baru datang mulai membuat parit-parit melintang di kedua sisi jalan untuk membuka lahan di bagian dalam dari jalan tersebut. Pembukaan sawah ini berlanjut dari tahun ke tahun dengan cara pembuatan parit-parit.  Kemudian pada tahun 1928, mulai juga dibuka dengan pembuatan sawah di Anjir Serapat, pada lahan bekas kebun karet yang terbakar, sehingga daerah Anjir Serapat pun menjadi tempat tujuan petani untuk bersawah.
        
          Pada tahun 1935, dibuat parit besar dari km 14 (sekarang Kec. Gambut) sampai ke Aluh-aluh serta perbaikan Sungai Pemurus dan Sungai Kelayan, sehingga lahan di wilayah rawa tersebut berangsur menjadi sawah dan pembukaan sawah meluas hingga ke Kurau dan Aluh-aluh.  Pada tahun 1937, penduduk dari Hulu Sungai berdatangan ke daerah Anjir Serapat untuk membuka sawah. Kondisi Anjir Serapat menjadi lebih baik setelah selesai diperdalam dengan kapal kerok pada tahun 1935.
        Pada tahun 1938, oleh pemerinmtah Belanda dilakukan program kolonisasi (sekarang diistilahkan dengan transmigrasi) yaitu petani dari Jawa didatangkan untuk memanen padi di daerah Kertak Hanyar, sambil belajar bersawah di lahan rawa pasang surut. Kemudian mereka disediakan lahan di Kampung Tamban, daerah Anjir Serapat, sekarang menjadi Kampung Purwosari (Idak, 1948). Petani dari Jawa selanjutnya didatangkan lagi setiap tahun hingga tahun 1941. 
Pembuatan Anjir Tamban dimulai tahun 1941, berawal dari Sungai Barito dan setelah mencapai dua kilometer pembuatan terhenti karena Perang Dunia II. Kemudian pembuatan Anjir Tamban dilanjutkan hingga mencapai 14 km pada tahun 1952. Pada tahun 1956-57, pembuatan anjir dilanjutkan sepanjang 25 km, hingga mencapai Sungai Kapuas (Sarimin and Bernsten, 1984). 
Pemerintah (Belanda) sejak tahun 1934 juga sudah menaruh perhatian terhadap pertanian di lahan rawa lebak yaitu dengan dimulai pembuatan polder untuk mengendalikan air di lahan rawa lebak di daerah Alabio dan Martapura. Pada tahun 1939 disusun Rentjana Perbaikan dan Perluasan Persawahan dalam Groupsgemeenschap Bandjar yang mencakup wilayah rawa pasang surut. Pada tahun 1958 pemerintah membuka Rice Project komplekBelandean secara besar-besaran di lahan pasang surut, sejak saat itu nama Sawah Pasang surut dikenal di Indonesia (Idak, 1967).

      Dengan demikian, maka praktek-praktek pertanian di lahan rawa yang sekarang berkembang tidak lepas dari upaya petani-petani pioner yang dengan gigih menyiasati kondisi alam yang penuh dinamika dan bahkan adakalanya kurang bersahabat. Keadaan tanah dan lingkungan rawa bersifat khas dan sangat beragam. Salah satu aspek yang sangat khas adalah kondisi air yang silih berganti pasang dan surut. Sebagian, hampir sepanjang tahun tergenang yang dapat bersifat mendadak ataupun bertahap pasang/banjir. Sifat tanah dan air cepat berubah masam (bangai = bahasa Banjar) serta kelarutan besi, alminium, sulfat dan asam-asam organik yang tinggi. Praktek-praktek pertanian di lahan rawa ini konon juga tidak lepas dari introduksi bangsa China yang sejak abad ke 13 Masehi telah melakukan invasi perdagangan ke Kalimantan yang secara tidak langsung mengajarkan juga cara bertani dan beternak.   

      Penggalian terhadap kearifan budaya lokal di lahan rawa ini sudah dilakukan oleh para peneliti dari berbagai lembaga dan institusi baik di Indonesia maupun dari luar Indonesia, namun lebih menitik beratkan pada aspek antrophologi dan ekologi.  Beberapa kearifan budaya lokal dalam pertanian di lahan rawa berpotensi untuk dikembangkan seperti halnya yang telah berkembang di Jawa seperti sistem walik jerami, di Bali seperti sistem subak, dan di Jawa Baratsistem embung. Kearifan budaya lokal dalam pertanian di lahan rawa sebagai contoh antara lain dikenal dengan tanam padi sistem banjaryaitu sistem penyiapan lahan tajak-puntal-balik-hambur dan sistem persemaian taradak-ampak-lacak, serta sistem penataan lahantongkongan yang sudah banyak dikenal dan diteliti. Kearifan budaya lokal ini tentu saja sudah berakar di masyarakat sehingga dapat memperkaya inovasi yang terus berkembang.

Hasil penelitian dan penggalian terhadap petani di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat menunjukkan ada beberapa hal yang menarik dari masyarakat petani di lahan rawa antara lain :
  • .    Pola pemukiman dan konstruksi rumah yang dikenal dengan rumah lanting untuk di pinggir tepian sungai dan rumah panggung, rumah betang atau bertiang tinggi di daratan lahan atas.
  •      Pola pertanian dan pola tanam yang dikenal dengan banih tahun, padisurung, padi rintak.
  •   Pengelolaan dan konservasi tanah dan air yang dikenal antara lainsistem handil, sistem anjir, dan sistem tabat
  •  Pengelolaan kesuburan lahan yang dikenal antara lain pemberian garam, abu, pengelolaan kompos (tajak-puntal-hambur) untuk padi sawah, dan melibur untuk tanaman tahunan seperti jeruk, kelapa dan karet.
  •      Peralatan pertanian yang merupakan produk lokal dan secara meluas digunakan di lahan rawa antara lain sundak, tajak, tatajuk, ranggaman, lanjung, tikar purun, kakakar, gumbaan, kindai, kalumpu dan lain sebagainya.
  •        Sistem sosial kemasyarakatan.
          Kearifan budaya lokal di atas sekarang sebagian masih bertahan, tetapi ikatan yang berhubungan dengan organisasi/kelompok seperti handil (saluran irigasi dan drainase) dipimpin oleh kepala handil meliputi kawasan handil sepanjang 2-3 km dan berperan sebagai pengelolaan air dan pertanian setempat, termasuk perawatan saluran.sebagian juga sudah mulai pudar atau hilang karena tuntutan perkembangan sosial budaya masyarakat  dengan muncul berbagai pilihan.  Sejatinya pilihan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan sementara atau jangka pendek,  tetapi mengakibatkan kemerosotan jangka panjang dalam aspek lingkungan. Pada hakekatnya kearifan budaya lokal dapat bertahan dengan upaya adaptasi atau penyesuaian-penyesuaian dengan mengikuti kondisi atau tuntutan yang berkembang.

PENUTUP

      Kesadaran untuk mengangkat dan menggali kembali pengetahuan lokal atau kearifan budaya lokal adalah karena kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat dunia sekarang telah diiringi oleh pelbagai kerusakan lingkungan. Ke depan  semakin dirasakan terjadinya peningkatan baik luas maupun intensitas adanya degradasi sumber daya lahan dan lingkungan serta pencemaran baik di biosfer, hidrosfer, maupun atmosfer.  Sementara di beberapa belahan dunia yang bertahan dengan praktek-praktek pertanian berdasarkan pengetahuan lokal danindegenous telah berhasil mewariskan sumber daya lingkungannya (hutan, lahan, tanah dan keanekaragaman hayatinya) secara utuh dari generasi ke generasi.  Hal ini menunjukkan pentingnya pembelajaran dan penggalian terhadap sumber-sumber kearifan budaya lokal.Dengan demikian pengetahuan indigenous atau kearifan budaya lokal sebagai sebuah akumulasi pengalaman kolektif dari generasi ke generasi perlu dikembangkan sebagai bagian dalam memperkaya dan melengkapi rakitan inovasi teknologi pertanian masa depan yang berkelanjutan, termasuk untuk pengelolaan dan pengembangan budidaya pertanian di lahan rawa.penggalian terhadap kearifan budaya lokal di lahan rawa ini sudah dilakukan oleh para peneliti dari berbagai lembaga dan institusi baik di Indonesia maupun dari luar Indonesia.
       Beberapa kearifan budaya lokal dalam pertanian di lahan rawa berpotensi untuk dikembangkan seperti halnya yang telah berkembang di beberapa wilayah dalam sistem pertanian organik atau sistem pertanian dengan masukan rendah (LIESA).

Sumber :

4 komentar: